Translate

Sabtu, 01 Oktober 2011

PERNIKAHAN DAN PERKAWINAN


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.      MUKADDIMAH
o    Perkawinan adalah sunnatullah dan bersifat universal, terjadi pada manusia, hewan dan tumbuhan
o    Segala sesuatu di alam ini selalu berpasangan
§  وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُون
o    “ Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz-Dzariyat: 49)
o    سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
o    Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
o    Perkawinan adalah sarana yang Allah ciptakan untuk kelangsungan hidup (QS. Yasin: 36)
§  يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى
o    Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (QS. Al-Hujurot: 13)
o    Allah telah meletakkan aturan pernikahan sebagai saluran insting manusia, dilakukan dengan kerelaan dan disaksikan para saksi.

2.      ANJURAN MENIKAH
o    Agama Islam menganjurkan pernikahan dengan berbagai metode dan penjelasan:
o    Nikah adalah sunah yang dilakukan para Nabi :
§  وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
§  “ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan” (QS. Al-Ra’d: 38)
o    Nikah sebagai karunia:
§  وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنْ الطَّيِّبَاتِ
§  Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik (QS. Al-Nahl: 72)
o    Nikah merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah:
§  وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
§  “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Al-Rum: 21)
o    Nikah adalah jalan mendapat rezeki (kecukupan):
§  وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمْ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
§  Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS.An-Nur: 32).

3.      ANJURAN DARI NABI saw UNTUK MENIKAH
o    عن أبي هريرة t قال : قال رسول الله r : ثلاثة حق على الله عولهم : المجاهد فى سبيل الله , والمكاتب الذي يريد الاداء , والناكح يريد العفاف ( رواه الترميذي )
o    “ Tiga hal yang Allah pasti menanggung kebutuhan hidupnya: pejuang di jalan Allah, Sahaya (Yang berhutang) yang bertekad melunasinya, dan orang yang menikah karena hendak menjaga kehormatannya.(HR: at-Tirmidzi)
o    عن ابن عباس t قال : قال رسول الله r : أربع من أصابهن فقد أعطي خير الدنيا والآخرة : قلبا شاكرا , ولسانا ذاكرا , وبدنا على البلاء صابرا , وزوجة لا تبغيه حوبا فى نفسها وماله ( رواه الطبري )
o    “ Empat hal jika terdapat pada seseorang maka akan mendapat kebaikan dunia dan akhirat; Hati yang bersyukur, lidah yang berzikir, tubuh yang sabar terhadap musibah, isteri
o    عن عبد الله بن عمرو بن العاص أن رسول الله r قال : الدنيا متاع , وخير متاعها المرأة الصالحة ( رواه مسلم )
o    “ dunia adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatan adalah wanita sholehah” (HR: Muslim)
o    عن سعد بن أبي وقاص قال : قال رسول الله r من سعادة ابن ادم ثلاث , ومن شقاوة ابن ادم ثلاثة : من سعادة ابن ادم : المرأة الصالحة والمسكن الصالح والمركب الصالح , ومن شقاوة : المرأة السوء , والمسكن السوء والمركب السوء
o    Kebahagiaan anak Adam (manusia) ada tiga, dan kesengsaraan anak Adam ada tiga: Kebahagiaan anak Adam adalah wanita sholehah, tempat tinggal yang layak dan kendaraan yang layak. Kesengsaraan anak Adam adalah: wanita yang buruk, tempat tinggal yang buruk dan kendaraan yang buruk.

4.      HIKMAH PERNIKAHAN
o    Pernikahan adalah sarana terbaik bagi penyaluran insting (naluri) manusia
o    Pernikahan adalah sarana terbaik bagi keberlangsungan keturunan bangsa manusia
o    Pernikahan melahirkan sikap kasih sayang di antara anggota keluarga
o    Pernikahan dapat menggelorakan gairah hidup, sehingga berfungsi memakmurkan bumi secara optimal.
o    Pernikahan mengahsilkan pembagian tugas antar suami, isteri dan anggota keluarga, sehingga menghasilkan keserasian
o    Laporan PBB tgl 6 Juni 1959 menyatakan: orang-orang yang menikah lebih panjang usianya dari pada orang yang lajang (tidak menikah)

5.      HUKUM NIKAH
o    Hukum Pernikahan Tergantung Pada Kondisi:
o    Wajib : Bagi orang yang memiliki kemampuan,ngebet (ingin benar nikah) dan dikhawatirkan berzina jika tidak menikah
o    Sunnah : Bagi orang yang memiliki kemampuan, ingin sekali menikah,namun masih bisa menahan dari perbuatan haram
o    Haram : Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan dalam sex dan nafkah, tidak ngebet (tidak ingin benar menikah, dan bisa menahan dari perbuatan haram.
o    Makruh : Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan dalam sex dan nafkah, namun jika menikah tidak memberi dampak negatif pada wanita. Hukum makruh akan lebih lagi jika ia menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah
o    Mubah : Bagi orang yang tidak memiliki halangan dan dorongan untuk menikah.

6.      MEMILIH PASANGAN (SUAMI-ISTERI)
o    اياكم وخضراء الدمن , قيل : يا رسول الله وما خضراء الدمن؟ فال : المرأة الحسناء فى المنبت السوء ( رواه الدارقتني )
o    Jauhilah olehmu tanaman hijau di tanah comberan, sahabat bertanya: “Apakah yang dimaksud tanaman hijau di tanah comberan?” Rasulullah menjawab, “Wanita cantik berada di tempat tumbuh yang buruk”. (HR: ad-Daruqutni)
o    لا تزوجوا النساء لحسنهن , فعسى حسنهن أن يرديهن , ولا تزوجوهن لأموالهن , فعسى أموالهن أن تطغيهن , ولكن تزوجوهن على الدين ولأمة خرماء ذات دين أفضل
o    Janganlah kamu nikahi wanita karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya akan membinasakannya, janganlah nikahi mereka karena hartanya, karena bisa jadi hartanya akan membuat dia melampaui batas. Tapi nikahilah mereka atas dasar agamanya, karena budak buruk tuli yang memiliki agama itu lebih utama.
o    من تزوج امرأة لمالها لم يزده الله الا فقرا ومن تزوج امرأة لحسبها لم يزده الله الا دناءة , ومن تزوج امرأة ليغض بها بصره ويحصن فرجه أو يصل رحمه بارك الله له فيها وبارك لها فيه ( رواه ابن حبان )
o    Barangsiapa mengawini wanita karena hartanya maka Allah tidak akan menambahnya kecuali kefakiran, barangsiapa mengawini wanita karena keningratannya maka Allah tidak akan menambah kecuali kehinaan, barangsiapa menikahi wanita karena ingin ghddul bashor (menahan pandangan) dan membentengi kemaluannya (dari perbuatan dosa) dan karena ingin menyambung silaturrahim, maka Allah akan memberkahinya dan bagi isterinya (HR: Ibnu Hibban)
o    تنكح المرأة لأربع لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها , فاظفر بذات الدين ( رواه البخاري و مسلم )
o    Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kemuliaannya, kecantikannya, maka carilah yang kuat agamanya, jika tidak maka kamu akan hina (kedua tangan di tanah) (HR: Ibnu Hibban)
o    تزوجوا الودود الولود , فاني مكاثر بكم الأمم يوم القيامة
o    Kawinilah (pasangan) yang pencinta dan subur, karena aku akan bangga dengan banyaknya umat di hari Kiamat

7.      MEMILIH PASANGAN (SUAMI-ISTERI)
o    خطب المغيرة بن شعبة امرأة فأخبر الرسول r فقال : اذهب فانظر اليها فانه أحرى أن يؤدم بينكما
o    Al-Mughiroh dan Syu’bah pernah melamar seorang wanita, lalu memberitahu Rasulullah saw, belau bersabda, “Lihatlah padanya, karena hal itu membantu kelanggengan di antara kalian berdua”
o    كان رسول الله r يرسل بعض النسوة ليتعرفن بعض ما يخفى من العيوب , فيقول : شمي فمها شمي ابطها اتظري الى عروقينها
o    Rasulullah saw pernah mengutus para wanita untuk mengetahui sebagian cela mereka seraya berkata, “ ciumlah mulutnya, ciumlah ketiaknya dan lihatlah keringatnya”
o    لما تزوج جابر بن عبد الله ثيبا قال له رسول الله  :r هلا بكرا تلاعبها وتلاعبك؟
o    Ketika jabir bin Abdullah menikahi seorang janda, Rasulullah saw bersabda, “Mengapa kamu tidak mencari yang gadis sehingga kamu dapat bermesraan dan dia bermesraan padamu?”
o    من زوج كريمته من فاسق فقد قطع رحمه ( رواه ابن حبان )
o    Barangsiapa menikahkan anak wanitanya dengan seorang yang fasik, maka dia telah memutuskan tali silaturrahimnya” (HR: Ibnu Hibban)
o    Seseorang berkata kepada Hasan bin Ali, “Aku memiliki anak perempuan, menurut pendapatmu siapa yang pantas untuk aku menikahkan padanya?” Hasan menjawab, “Nikahi dia dengan yang bertaqwa, jika dia mencintainya maka dia akan memuliakannya, jika ia memarahinya maka dia tidak sampai menzaliminya”.
o    Aisyah ra berkata: “Nikah adalah kelembutan, maka perhatikanlah oleh kalian kemana akan meletakkan anak wanitanya.”

8.      KHITBAH (MELAMAR)
o    Khitbah (melamar) adalah permohonan menikah dengan cara-cara yang dibenarkan
o    Khitbah dibenarkan jika:
§  Wanita yang dikhitbah tidak memiliki halangan syar’i untuk dinikahi pada saat melamar. Seperti wanita yang belum habis masa iddahnya
§  Wanita itu tidak sedang dalam lamaran orang lain
o    Hal yang diperbolehkan dalam Khitbah:
§  Melihat wajah dan telapak tangan wanita yang dilamar. Wanita boleh melihat laki-laki yang melamarnya
§  Mengenal sifat-sifatnya, visi misi hidupnya, dengan bertanya, atau melalui informasi orang lain yang sesuai dengan syariat
o    Hal yang Tidak diperbolehkan setelah Khitbah:
§  Berduaan (pacaran) tanpa mahram
o    Hal yang Tidak patut dilakukan setelah Khitbah:
§  Menarik kembali lamarannya (tidak jadi). Jika hal itu terjadi, maka semua hadiah yang telah diberikannya saat lamaran tidak berhak ditarik lagi, kecuali barang yang dianggap sebagai “panjer” bagi mahar (mas kawin)

9.      RUKUN NIKAH
o    Wali bagi calon pengantin wanita, berupa ayahnya, kerabatnya, atau yang diwasiatkan atau negara (penghulu)
§  Yang perlu diperhatikan dalam perwalian:
§  Wali harus laki-laki, akil-baligh, cerdas dan merdeka
§  Wali Meminta izin pada calon pengantin yang akan dinikahkan
§  Kerabat keluarga tidak sah menjadi wali jika masih ada kerabat yang lebih dekat kekerabatannya pada si caln pengantin
o    Dua saksi
§  Harus berjumlah dua saksi
§  Keduanya harus adil (tidak melakukan dosa besar)
§  Disunnahkan lebih dari dua saksi
o    Ijab Kabul (shigot nikah), boleh diwakilkan
o    Mahar (mas kawin)
§  Hukum mas kawin wajib (QS. An-Nisa: 4)
§  Disunnahkan mahar yang mudah dan tidak memberatkan
§  أعظم النساء بركة أيسرهن مؤنة
§  Wanita yang paling berkah adalah yang memudahkan mas kawin (HR: Muslim)
§  Disunnahkan menyebut mahar (mas kawinnya) saat akad
§  Mahar diperbolehkan berupa sesuatu yang berharga, boleh diberikan kontan atau ditunda (hutang)
§  Jika suami wafat meskipun belum menggauli isteri maka hukum waris dan mahar sudah tetap berlaku


10.  HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
o    Kewajiban Suami:
o    Memberi nafkah berupa kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal dengan ma’ruf (wajar) (QS. Al-baqarah: 228)
o    Istimta’ (memberi kenikmatan). Suami wajib menggauli isteri minimal sekali dalam empat bulan jika tidak mampu memberi yang ideal
o    Tidur bersama isteri minimal 1 malam dalam setiap 4 malam (ketentuan Umar bin Khattab)
o    Berbuat adil antar isteri jika memiliki lebih dari satu isteri.
o    Menginap bersama isteri selama tujuh hari di hari pernikahannya jika isteri itu gadis, dan selama tiga hari bila isteri itu janda.
o    Disunnahkan memberi izin isteri jika dia ingin merawat keluarganya (mahramnya), atau mengantarkan jenazah keluarganya serta mengunjungi saudaranya yang tidak menghlangkan kemaslahatan suami.

11.  HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
o    Kewajiban Isteri:
o    Mentaati suami dalam kebaikan (QS. An-Nisa: 34)
o    Menjaga harta suami, memelihara diri dan harga dirinya serta tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suami (QS. An-Nisa: 34)
o    Bepergian bersama suami jika suami menghendakinya
o    Menyerahkan dirinya pada suami saat suami menginginkannya untuk bersenang-senang (jima’).
o    Rasulullah saw bersabda:
o    اذا دعا ارجل امرأته الى فراشه فأبت أن تجىء فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح
o    Jika suami mengajak isterinya ke ranjangnya lalu isterinya menolak untuk mendatanginya, kemudian suami marah malam itu pada isterinya, maka malaikat melaknat isteri hinga pagi hari (HR: Bukhori)
o    Meminta izin pada suaminya jika isteri akan berpuasa sunnah, sedangkan suami tidak sedang bepergian. Rasulullah saw bersabda:
o    لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد الا باذنه
o    Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedang suaminya ada kecuali dengan izinnya (HR: Bukhori)

12.  ADAB DAN SUNNAH NIKAH
o    Khutbah Nikah,
o    Walimah (resepsi nikah)
o    Rasulullah saw bersabda keapda Abdurrahman bin Auf saat menikah:
o    أولم ولو بشاة “ Berwalimah-lah walaupun dengan seekor kambing” (HR: Bukhori)
o    Mengumumkan nikah dengan iringan rebana dan lagu-lagu yang dimubahkan
o    Mendoakan kepada kedua pengantin
o    Rasulullah saw jika ada yang menikah mendoakan:
o    بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما فى الخير
o    Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan keberkahan padamu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan” (HR; Tirmidzi)
o    Disunnahkan menikah di bulan Syawal, Aisyah berkata, “Rasulullah menikahiku di bulan Syawal, membangunkan rumah buatku di bulan Syawal, Isteri Rasul mana yang paling beruntung selain aku? (HR: Muslim)
o    Saat malam pertama, suami disunnahkan memegang ubun-ubun isteri dan membaca doa:
o    اللهم اني أسألك من خيرها وخير ما جبلتها عليه وأعوذ بك من شرها وشر ما جبلتها عليه
o    Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan yang diwatakkan padanya, dan aku berlindung dari keburukannya dan keburukkan yang diwatakkan padanya (HR:Ibnu Majah)
o    Saat akan berjima’ (bergaul) disunnahkan membaca:
o    بسم الله اللهم جنبنا الشيطان وجنب الشيطان ما رزقتنا
o    Dengan nama Allah, Ya Allah hindarkanlah kami dari syaitan dan hindarkanlah syaitan pada anak yang kau karuniakan pada kami (HR: Bukhori)
o    Dimakruhkan menceritakan/menyebarkan apa yang terjadi saat berjima’ kepada orang lain












BAB II

PEMBAHASAN

1.   Pernikahan Pada Zaman Jahiliyah

Sedikitnya ada empat macam pernikahan pada zaman jahiliyah yaitu:
1.      Pernikahan normal, dengan cara-cara yang kita kenal sekarang, yaitu dengan cara melamar kepada si wali wanita yang akan dinikahi kemudian dilanjutkan dengan pernikahan dengan  acara ijab qobul dan pemberian mahar kepada mempelai wanita.
2.      Nikah Istibdho’  ( الاستبضاع ) (pernikahan yang didasarkan atas keinginan untuk memperoleh anak yang berkualitas). Yaitu dengan cara si suami menyuruh kepada istrinya (dalam masa subur)untuk bergaul dengan seorang laki-laki terhormat agar mendapatkan keturunan yang diinginkan. Pada masa ini suami tidak menyentuh si sitri sampai ada tanda-tanda kehamilan dari istri. Setelah si istri benar-benar hamil baru si suami menggaulinya atau kalau tidak ingin menggaulinya maka si suami membiarkannya sampai si sitri melahirkan.
3.       Nikah Beramai dengan penentuan suami yang disukai wanita adalah jenis pernikahan yang melibatkan satu orang perempuan dengan beberapa orang laki-laki dalam jumlah kurang dari sepuluh. Si perempuan melayani semua laki-laki tadi dan kalau nanti hamil maka salah satu dari laki-laki yang menggauli harus mengakui bahwa anak yang dikandung si perempuan adalah anaknya. Sedangkan siapa yang mau dijadikan bapak dari anaknya tergantung pilihan perempuan. Dan biasanya penunjukan ayah dari jabang bayi setelah jabang bayi lahir.
4.      Nikah Beramai dengan penentuan suami yang mirip dengan anak yang dilahirkannya adalah jenis pernikahan yang melbatkan beberapa lelaki menggauli seorang wanita, setelah hamil dan melahirkan, wanita tersebut memilih salah satu laki-laki yang menggaulinya yang mirip dengan anak yang dilahirkannya sebagai ayah anak tersebut.
5.      Pernikahan dengan cara seorang perempuan menjajakan diri dengan sejumlah laki-laki dalam bilangan lebih dari sepuluh sampai tak terbatas. Si perempuan tidak menolak siapapun yang mau berhubungan badan dengannya. Dalam pernikahan seperti ini biasanya si perempuan mencatat siapa saja yang berhubungan badan dengannya. Karena kalau nanti dia hamil maka salah satu dari laki-laki yang pernah menggaulinya akan dimintai pertanggung jawaban sebagai ayah dengan cara mendatangkan seseorang yang ahli dalam bidang pernasaban (Qoif). -kalau sekarang dengan tes DNA.

Saat Nabi Muhammad saw diutus sebagai Rasul, maka Islam menghapus jenis pernikahan jahiliyah ini kecuali bentuk pernikahan pertama sebagaimana yang dilakukan sekarang ini.

2.   Pernikahan Pada Zaman Sekarang
1.      Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan :
·         Pertama, pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
·         Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
·         Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahan.

Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara. Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut :
  • Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy.
  • Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis. Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka.
  • Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya.
  • Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
  • Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim].
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah : (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
Nikah siri dalam pandangan agama diperbolehkan sepanjang hal-hal yg menjadi rukun terpenuhi. Namun perbedaan adl Anda tak mempunyai bukti otentik bila telah menikah atau dgn kata lain tak mempunyai surat sah sebagai seorang warga negara yg mempunyai kedudukan yg kuat di dalam hukum.Namun perlu dipikirkan dgn sungguh-sungguh dan tak tergesa-gesa bila Anda memang ingin melakukan nikah sirri. Tidak ada salah Anda berjuang dahulu semaksimal mungkin utk memberikan pengertian kepada keluarga agar Anda dapat menikah secara formal.
Walaupun diperbolehkan oleh agama namun banyak kekurangan dan kelemahan menikah siri antara lain bagi pihak wanita akan sulit bila suatu saat mempunyai persoalan dengan sang suami sehingga harus berpisah misal sedangkan anda tak mempunyai kuat secara hukum. Di samping itu bagi anak-anak kita kelak yang nanti memerlukan kartu identitas dan surat-surat keterangan lain akan mengalami kesulitan bila orang tua tak mempunyai surat-surat resminya.
Oleh karena jangan jadikan nikah sirri‘ hanya sebagai jalan pintas untuk keluar dengan mudah dalam mengatasi persoalan. Tetapi coba dulu untuk berjuang dan melakukan sebagaimana umumnya.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
2.  Pernikahan Dibawah Tangan
A. Kedudukan perkawinan di bawah tangan menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia
Analisis Berdasarkan Undang-undang Perkawinan
UU RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975.
Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU.
Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Perkawinan yang telah melalui pencatatan adanya kemaslahatan bagi umum, artinya kaum wanita terlindungi hak asasinya, tidak dilecehkan. Sebab menurut hukum positif Indonesia, nikah di bawah tangan  itu tidak diakui sama sekali. Adanya ikatan perkawinan diakui secara hukum hanya jika dicatat oleh petugas yang ditunjuk. Jadi, di dalam struktur Kantor Urusan Agama itu ada petugas pencatatan Nikah (PPN) yang kita sebut penghulu. Penghulu itu yang bertanggung jawab untuk mencatat, bukan menikahkan. Terkadang ada salah tafsir bahwa penghulu itu menikahkan. Tapi, dia juga bisa bertindak menjadi naibul wali ketika wali menyerahkan untuk memimpin kewaliannya itu. Namun itu harus ada serah terima dari wali yang sesungguhnya. Tidak bisa dia mengangkat dirinya menjadi wali. Apalagi pihak lain yang mencoba untuk memposisikan dirinya sebagai penghulu,  yang tidak ada surat keputusannya sebagai penghulu.Perkawinan di bawah tangan bukan merupakan perkawinan yang sah dihadapan hukum dan negara, hanya sah menurut agama karena terpenuhinya rukun nikah. Sehingga banyak pendapat ahli hukum dan sarjana hukum berpendapat bahwa perkawinan di bawah tangan adalah sah hanya kurang dalam pencatatan perkawinan atau syarat administratif saja.Tetapi bila melihat dari Pasal 2 ayat  harus dibaca sebagai satu kesatuan, artinya perkawinan yang sah adalah yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan itu dan harus dicatatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 100 KUHPer, G.Pudja.,1974:24-25, Pasal 4 HPAB (Hukum Perkawinan Agama Budha), dan Pasal 34 HOCI, akta perkawinan merupakan bukti satu-satunya adanya suatu perkawinan.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut jelaslah bahwa sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat 2 yang berbunyi:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Analisis Nikah di bawah tangan menurut pandangan Hukum Islam
Allah SWT menginginkan hambanya dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui prosedur yang legal, yaitu melalui proses akdun nikah (upacara akad nikah). Nikah dalam Islam ini begitu sangat sakral. Apa sebetulnya yang diinginkan syariat Islam? Adalah ingin melindungi hak-hak asasi dari masing-masing pihak, baik dari suami apalagi istri, dan keluarga besar dari kedua belah pihak. Sehingga di situ diatur ada proses ijab kabul, yang merupakan implementasi penyerahan sepenuhnya dari pihak wali, dalam hal ini bapak kandungnya atau yang mewakilinya, bahwa dia telah mengurus dari kecil, dan setelah besar mau diserahkan dari ujung rambut sampai ujung kaki kepada calon suaminya. Ijab kabul itu tidak bermain-main. Makanya, ayyakunal aqdu mubasyaratan, hendaklah akad tersebut dilakukan secara langsung.
Lalu ada saksi-saksi. Yang kita tangkap dari dua saksi itu adalah Islam menghendaki akad nikah ini disosialisasikan bukan hanya dua saksi itu saja yang tahu. Makna dua saksi dalam pernikahan yang adil, tidak fasik, dia akan memberitakan kepada pihak lain bahwa benar yang bersangkutan adalah suami  sehingga pihak lain yang mencoba-coba untuk masuk, tidak berhak karena sudah tertutup.
Berkenaan dengan kawin di bawah tangan pendapat kiai terkemuka tokoh MUI Kyai Ma’ruf menegaskan, bahwa hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan rukun nikah, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Jadi, ”Haramnya itu datangnya belakangan. Pernikahannya sendiri tidak batal, tapi menjadi berdosa karena ada orang yang ditelantarkan, sehingga dia berdosa karena mengorbankan istri atau anak. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban. Inilah uniknya,” ujarnya. Lalu beliau menganjurkan untuk mengantisipasinya, dalam Fatwa tersebut, MUI menganjurkan agar pernikahan di bawah tangan itu harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang. Hal ini sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif/mudharat. Dengan adanya pencatatan ini, maka pernikahan ini baik secara hukum agama maupun hukum negara menjadi sah. Penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak terutama soal pembagian harta waris, pengakuan status anak dan jika ada masalah, istri memiliki dasar hukum yang kuat  untuk menggugat suaminya.

B.     Akibat hukum terhadap status anak dan harta yang dihasilkan dalam perkawinan
Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan, meski secara agama atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah di mata hukum Negara. Akibat hukum perkawinan tersebut berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.
Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi”.
Secara sosial, sang istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan, sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan  atau dianggap menjadi istri simpanan.
Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah, akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya. Yang jelas-jelas sangat merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. Perkawinan di bawah tangan berdampak mengkhawatirkan atau merugikan, kecuali jika kemudian perempuan tersebut melakukan perkawinan yang sah. Anak hasil perkawinan dibawah tangan dianggap anak tidak sah, apabila terjadi perkawinan sah anak hanya diakui. Sedangkan anak yang lahir di dalam perkawinan di bawah tangan dikatakan anak yang disahkan karena hanya ada pengakuan dari ayah anak tersebut dan harus disertai putusan pengadilan..
Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan
a.    Perkawinan dianggap tidak sah
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
b.    Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibu dan keluarga Ibu.
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
c.    Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan.
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Harta yang didapat dalam perkawinan dibawah tangan hanya dimiliki oleh masing-masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta gono-gini / harta bersama



C. Faktor-faktor penyebab perkawinan di bawah tangan
Setiap warga Negara hendaknya melaksanakan setiap peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebab semua peraturan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk kepentingan masyarakat demikian juga dalam hal perkawinan. Adapun pengertian dari perkawinan di bawah tangan adalah, suatu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak memenuhi Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 dan tata cara perkawinan menurut PP No. 9 Tahun 1975. Mereka hidup sebagai suami istri tanpa mempunyai kutipan akta nikah, yang pelaksanan nikahnya itu dilaksanakan oleh pemuka agama di tempat perkawinan itu dilaksanakan.
Masih terdapat di anggota masyarakat yang perkawinannya dilaksanakan tanpa sepengatahuan Pegawai Pencatat Nikah. Adakalanya orang tua yang menganggap dirinya adalah seorang kyai atau pemuka agama, merasa bahwa tanpa kehadiran aparat yang berwenang juga sudah sah, menurut hukum agama Islam serta mereka menganggap hal tersebut hanyalah hal yang sifatnya administratif saja.
Diantaranya terdapat berbagai alasan yang mendasari perkawinan di bawah tangan adalah:
a.    Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya, maka orang tersebut melaksanakan perkawinan di bawah tangan, cukup dihadapan pemuka agama.
b.    Dengan adanya PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, dalam Pasal 4 ayat (1) diantaranya menyebutkan, bahwa pria yang berstatus Pegawai Negeri Sipil tidak boleh beristri lebih dari seorang, apabila itu terjadi wajib melapor dan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat atau pimpinannya. Dengan adanya PP No. 10 Tahun 1983 tersebut, mereka beranggapan bahwa dengan sulitnya persyaratan untuk poligami, maka terdapat (walaupun sedikit) pegawai negeri yang melaksanakan perkawinan dengan tidak melalui prosedur yang sebenarnya.
c.    Dikarenakan mereka masih awam, jadi adanya perasaan takut untuk berhadapan dengan pejabat nikah dan menganggap mereka lebih baik perkawinannya dilaksanakan di depan pemuka agama.
d.   Agama sering dijadikan dalil untuk melegitimasi keinginan – keinginan tertentu yang subjektif. “Padahal aturan agama juga sama jelasnya, bahwa Undang – Undang No.1 tahun 1974 berlaku untuk semua umat Islam. Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mensahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur.
e.    Anggapan orang Indonesia  pada umumnya wanita yang tidak menikah ataupun belum menikah itu “kurang dihargai”. Daripada tidak menikah lebih baik menikah meskipun dengan pria yang sudah beristri walaupun tidak dicatat diKantor Urusan Agama.
Sebab-sebab itulah yang menjadi dasar perkawinan di bawah tangan di samping faktor sosial, budaya, ekonomi, agama, dan juga tingkat pendidikan yang masih rendah.

D. Upaya-upaya yang dapat dilakukan bila perkawinan bawah tangan sudah terjadi
1. Bagi yang Beragama Islam
a. Mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah
Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Pasal 7 KHI) Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a. dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974. Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan di atas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.
Tetapi untuk perkawinan dibawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian.
Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan, jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang.Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak-anak
jangan lupa, bila telah memiliki Akte Nikah, harus segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak anda ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada Pengadilan Negeri setempat. Dengan demikian, status anak-anak anda dalam akte kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.Tetapi perkawinan yang dilakukan dibawah tangan tidak akan bisa membuat akte kelahiran  karena syarat pembuatan akte kelahiran yang sah adalah akta nikah.
b. Melakukan perkawinan ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan. Bila perkawinan di bawah tangan ingin diakhiri dan “dilegalkan”, ada dua cara, yaitu dengan mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah dan menikah ulang dengan mengikuti prosedur pencatatan KUA. “Bagi yang beragama Islam pernikahan yang tidak dapat membuktikannya dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/ pengesahan nikah) kepada pengadilan agama sesuai Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7.” “Akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Biasanya untuk perkawinan di bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki akta nikah dari pejabat berwenang,”.
Walaupun sudah resmi memiliki akta, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan di bawah tangan sebelum pembuatan akta tersebut akan tetap dianggap sebagai anak di luar nikah, karena perkawinan ulang tidak berlaku terhadap status anak yang dilahirkan sebelumnya.
2. Bagi yang beragama non-Islam (Kristen, Hindu dan Budha)
a. Perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan
Perkawinan ulang dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut. Penting untuk diingat, bahwa usai perkawinan ulang, perkawinan harus dicatatkan di muka pejabat yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara).
b. Pengakuan anak
Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan pasal 43 UU no 1 /1974 yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam pasal 284 KUH Perdata.
3.    Pernikahan Kontrak
Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Namun kenyataannya, tidak semua orang berprinsip demikian, dengan berbagai alasan pembenaran yang cukup masuk akal dan bisa diterima masyarakat, perkawinan sering kali tidak dihargai kesakralannya.
1. Pengertian
a.    Di dalam agama Islam, menurut Abdus Salam Nawawi, kawin kontrak dikenal dengan istilah kawin mut’ah
b.   nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak.
2. Larangan Nikah Mut’ah
a.       Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a, bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut'ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging keledai peliharaan, (HR Bukhari [4216] dan Muslim [1407]).

3.      Diriwayatkan dari ar-Rabi' bin Sabrah al-Juhani, dari ayahnya bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut'ah. Rasululalh saw. bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya nikah mut'ah itu haram mulai sekarang sampai hari kiamat. Barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (yakni) upah maka janganlah ia mengambilnya kembali,”
4.      Hukum Kawin Kontrak Menurut MUI
a.       nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan
5.      Perkawinan Kontrak Fikih Islam
a.       Perkawinan Islam adalah kontrak, bukan sakralmen. Meskipun telah pentingnya agama sebagai satu-satunya cara sanksi bagi individu untuk memiliki hubungan seksual yang sah dan melanjutkan keturunan perkawinan adalah perjanjian sipil, masuk ke dalam oleh dua individu atau mereka yang bertindak atas nama mereka.
Kalau dilihat dari prosesnya, nikah kontrak ini hampir sama dengan nikah pada umumnya karena persyaratan-persyaratan pernikahan terpenuhi seperti ada mempelai, ada saksi, ada wali, ada mahar (mas kawin) dan ada ijab kabul. Yang membedakannya adalah adanya kesepakatan waktu berapa lama mereka terikat menjadi suami isteri dan tidak dicatatkan di kantor pejabat. Permasalahan nikah kontrak ini menjadi tengkarah di masyarakat, ada yang membolehkan karena persyaratan dan rukun nikah terpenuhi tapi juga kebanyakan ulama melarang dan mengharamkannya. Menurut undang-undang pernikahan di Indonesia ’nikah kontrak, tidak diperbolehkan dan dianggap melanggar hukum karena tidak dicatat oleh pejabat pemerintahan dari Kantor Urusan Agama (KUA).
Kebanyakan ulama yang mengharamkan ’nikah kontrak’ ini. Meskipun seolah-olah persyaratan dan rukun nikahnya terpenuhi, tetapinya pernikahan ini seperti mempermainkan agama yaitu seolah-olah ingin menghalalkan ’prostitusi’ tapi berkedok agama. Nampaknya, syah tidaknya nikah kontrak bukanlah hal yang utama, bagi mereka yang penting adalah mereka diuntungkan secara ekonomi. Banyak alasan yang membuat ‘pernikahan kontrak’ ini terjadi di masyarakat
·      Pertama, pemahaman agama yang kurang menyebabkan mereka merasa bahwa ‘nikah kontrak’ adalah syah karena menurut mereka daripada berzinah tanpa pernikahan lebih baik nikah kontrak.
·      Kedua, dan alasan inilah yang banyak saya temui di masyarakat yaitu karena alasan ekonomi untuk memperbaiki taraf hidup. Dengan menikah dengan orang Timur Tengah banyak masyarakat yang percaya bahwa pernikahan mereka adalah syah dan ekonomi mereka akan meningkat.
·      Ketiga, banyak juga yang beranggapan bahwa anak gadis itu merupakan asset keluarga yang harus diberdayakan untuk meningkatkan status ekonomi dan memperbaiki keturunan. Mereka yakin dengan menikah dengan orang Timur Tengah maka anak keturunan mereka akan mempunyai paras yang elok.
Kerugian yang paling dirasakan adalah oleh pihak perempuan. Banyak para isteri yang telah dinikahi secara kontrak tersebut hanya dijadikan pemuas hawa nafsu sahaja dan tidak diberi nafkah secara wajar. Harapan mendapatkan uang yang banyak karena menikah dengan orang kaya dari Timur Tengah juga terkadang hanya tinggal harapan tanpa kenyataan. Kalau mereka hamil dan mempunyai anak sementara suaminya sudah kembali ke Timur Tengah maka anak akan menjadi terlantar karena tidak memiliki ayah yang jelas. Hal ini bisa dimaklumi karena pernikahan mereka tidak dicatat dilembaga resmi pemerintah. Jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga, lagi-lagi posisi perempuan tidak berdaya dan mereka tidak bisa mengadu ke pejabat polis karena pernikahan mereka memang tidak tercatat. Melihat banyak kerugian dan kekurangannya dari praktek nikah kontrak ini, nampaknya pemerintah atau pejabat yang berwenang harus segera bertindak. Para pejabat dari departemen agama harus memberikan pemahaman kepada penduduk tentang hukum nikah kontrak ini jika dilihat dari hukum Islam dan hokum negara Indonesia. Janganlah karena pemahaman agama mereka kurang mereka menyamakan nikah kontrak dengan nikah mut’ah.
4. Pernikahan Dini
Pernikahan Dini Menurut Perspektif Agama dan Negara
Isu pernikahan dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini dipicu oleh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan antara pria berusia 43 tahun dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan opini yang bernada menyudutkan. Umumnya komentar yang terlontar memandang hal tersebut bernilai negatif.
Di sisi lain, Syeh Puji, begitu ia akrab disapa berdalih untuk mengader calon penerus perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena dianggap masih murni dan belum terkontaminasi arus modernitas. Lagi pula dalam pandangan Syeh Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama.
Sebenarnya kalau kita mau menelisik lebih jauh, fenomena pernikahan dini bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat yakin bahwa mbah buyut kita dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur. Bahkan—jaman dulu—pernikahan di usia ”matang” akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb.
Namun seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
Pernikahan Dini menurut Negara
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa  perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.[1]
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat  mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
Pernikahan Dini menurut Islam
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa  agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat  tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan  adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.[3]
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis  dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.[4]
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.[5]
Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat.  Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan.

Pernikahan dini merupakan fenomena social yang sering terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena pernikahan anak di bawah umur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es, sedikit di permukaan atau terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini biasa jadi bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahihan informasi mengenai pernikahan anak di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan Aisyah r.a. Selain itu, peraturan perundang – undangan yang belaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi pihak – pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur.
Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak – pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang – undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi – sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko – resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar  mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak – anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.
Dampak Pernikahan Dini (perkawinan di bawah umur)
1.    Dampak terhadap hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
b.      UU No. 2 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
1.) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan; 2.) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
c.       UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO
Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
2.    Dampak biologis.
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
3.  Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
4. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
5. Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.
Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.
Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan dalam usia muda:
1. Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda adalah:
a.       Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga
b.      Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c.       Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat.
d.      Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.
2. Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:
a.       Masalah ekonomi keluarga
b.      Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya.
c.       Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992 : 65).
Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :
a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
c. Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.

d. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.
e. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.

Hukum Pernikahan Dini
Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua orang tua.
Namun dalam prakteknya didalam masyarakat sekarang ini masih banyak dijumpai sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan di usia muda atau di bawah umur. Sehingga Undang-undang yang telah dibuat, sebagian tidak berlaku di suatu daerah tertentu meskipun Undang-Undang tersebut telah ada sejak dahulu. Di Indonesia pernikahan dini berkisar 12-20% yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan usia muda usia rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan usia pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,95%. Di Tasikmalaya sendiri khususnya di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalya yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda berjumlah lebih dari 15 orang.
Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional, ekonomi dan sosial.
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur.





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
a.    Perkawinan adalah sunnatullah dan bersifat universal, terjadi pada manusia, hewan dan tumbuhan
b.    Pernikahan terbagi atas dua zaman, yaitu Zaman Jahiliya dan Zaman Sekarang ini
c.    Zaman Jahiliyah terbagi atas:
1)   Pernikahan normal
2)   Nikah Istibdho’  
3)   Nikah Beramai dengan penentuan suami yang mirip dengan anak yang dilahirkannya
4)   Nikah Beramai dengan penentuan suami yang disukai wanita
d.    Zaman Sekaran ini:
1)   Pernikahan Siri
2)   Pernikahan Dibawah Tangan
3)   Pernikahan Dini

B.     Saran
Diharapkan dalam melangsungkan pernikahan sebaiknya mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, agar menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rohmah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar