Translate

Sabtu, 17 Maret 2012

Surat Kepercayaan Gelanggang


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Surat Kepercayaan Gelanggang
Sudah diketahuai umum bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa bersejarah yang amat penting bagi bangsa Indonesia. Pada waktu itu terjadi perubahan besar-besaran atau revolusi di berbagai bidang kehidupan, terutama politik, sosial dan budaya. Berbagai kisal awal revolusi Indonesia yang sudah ditulis banyak orang pantaslah dibaca generasi sekarang agar diperoleh gambaran historis mengenai berbagai peristiwa di awal revolusi termasuk perubahan yang terjadi di bidang sastra. Dalam buku Teeuw (1952), Ajip Rosidi (1969), dan Jakob Sumardjo (1992) masih relevan dijadikan sumber rujukan mengenai kehidupan sastra Indonesia tahun 1945-1960-an. Tentu saja di luar buku-buku tersebut banyak tulisan (artikel) lepas di surat kabar dan majalah yang pantas dijadikan bahan pengayaan. Akan tetapi, untuk kepentingan pelajaran ini boleh kiranya buku-buku tersebut dipandang sebagai modal dasat pembaca. Dengan kata lain, sebaiknya pembaca buku ini pun menyimak sendiri buku-buku tersebut agar memperoleh pengetahuan yang komprehensif dan lebih luas.
Ketika menulis Pokok dan Tokoh Kesusastraan Indonesia Baru pada tahun 1951, Teeuw mengaku tidak memilki dokumentasi yang lengkap seingga timbul keraguan untuk menyusun ikhtisar kesusastraan Indonesia setelah tahun 1942 (hingga taun 1951). Akibatnya Teeuw hanya bersumberkan sejumlah majalah yang penting sebagai pengantar masalah kebudayaan dan medan perbincangan. Selama masa pendudukan Jepang, sudah terjadi tanda-tanda perubahan seperti diperlihatkan Chairil Anwar, Idrus, Usmar Ismail, achdiat K. Mihardja, tetapi tidak segera muncul ke permukaan karena tertekan oleh kekuasaan Jepang. Ajip Rosidi dalam Ikhtisar sejarah sastra Indonesia (1969:92) tidak berbicara tentang latar belakang sosial dan politik masa awal revolusi, tatpi langsung menyajikan gambaran mengenai maraknya pemikiran sastra berkat kepeloporan penyair Chairil Anwar, sedangkan Jakob Sumardjo (1991:104) menggambarkan  Proklamasi Kemerdekaan sebagai kejadian yang teramat penting dalam sejarah bangsa Indonesia berpengaruh sekali terhadap kegiatan kbydayaan, termasuk kesusastraan.
Maraknya pemikiran kebudayaan dan kesusastraan itu tampak pada penerbitan majalah-majalah dan kesusastraan itu tampak pada penerbitan majalah-majalah  yangyang segera bermunculan  segera bermunculan setelah Proklamasi Kemerdekaan, seperti Panca Raya ( 1945-1947), Pembangunan (1946-1947), Pembaharuan (1946-1947), dan masih banyak lagi. Dari Kratz (1988:32-33) diperoleh catatan majalah yan terbit pada tahun-tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan adalah Arena, Gelanggang, Media, Genta,, Panji Islam, Api dan masih banyak lagi.
Hal itu membuktikan betapa besar semangat kaum seniman dan budayawan untuk ikut serta mengisi kemerdekaan dengan pembangunan kebudayaan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pembangunan poltik dan militer yang sangat mendesak pada saat itu. Maraknya penerbitan majalah itu membuka kesempatan munculnyabanyak karangan sastra yang berupa sajak, cerpen, drama, esai dan terjemahan. Semuanya merupakan peristiwa kebudayaan yang tidak panta dicatat, tetapi jug pantas diteliti dan dikaji lagi untuk kepentingan masa kin dan masa depan, khususnya masalah kebudayaan.
Seperti halnya kelompok Pujangga Baru yang telah berpolemik mengenai konsep kebudayaan Indonesia baru, para seniman dan budayawan pada masa awal revolusi pun sempat memikirkan konsep kebudayaan Indonesia sebaga landasan pemikiran. Konsep yang kemudian terkenal dengan sebutan “Surat Kepercayaan Gelangganng”. Disebut demikian karena konsep atau rumusan itu diumumkan dalam ruang kebudayaan “Gelanggang” dalam majalah Siasat tanggal 22 Oktober 1950.
Surat Kepercayaan Gelanggang itu merupakan pernyataan sikap seniman budayawan yang tergabungdalam Gelanggang Seniman Merdeka dengan motor Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Kelompok ini kemudian disebut “Angkatan 45” oleh Rosihan Anwar, tetapi tidak dengan sendirinya dsepakati oleh banyak orang. Dalam Surat Kepercayaan Gelanggang tampak jelas kesadaran berbangsa atau nasionalismeyang mengakomodaso keberagaman masyarakat, termasuk pikiran-pikirannya, sedangkan perwujudannya dalam kesenian (kebudayaan) bertumpu pada interaksi masyarakat dengan seniman.
Tujuan perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka adalah mempertanggungjawabkan penjadian bangsa, mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari pergolakan pikiran dan roh, sera memasukkan cita-cita dan dasraitu ke dalam segala kegiatan.
Pendapat Maman S. Mahayana bahwa publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang itu dimaksudkan sebagai reaksi terhadap publikasi Mukadmah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakat) yang dicetukan 17 Agustus 1950. Kemungkinan itu dapat dipahami berdasarkan perbedaan ideologi. Surat Kepercayaan Gelanggang berdasarkanberdasarkan pada humanism universal, sedangkan Lekra secara tegas hendak melaksanakan realism sosialis yang bersumber pada komunisme. Gejala tersebut merupakan awal pergolakan budaya yang terjadi dalam masyarakat sastra Indonesia. Kesulitan ekonomi yang meluas di segala bidang kehidupan menyebabkan krisis penerbitan Balai Pustaka.
Selayang pandang tampaklah gejala tersebut merupakan awal pergolakan budaya yang terjadi dalam masyarakat sastra Indonesia karena berkembangnya dinamika politik ditengah kehidupan sosial ekonomi yang masih serba pahit dan semrawut akibat pendudukan Jepang dan berlanjut dengan perang mempertahankan kemerdekaan.
Namun telah tercatat dalam sejarah bahwa pada masa yang penuh kesulitan pun bermunculan sejumlah pengarang yang pantas dihargai ketokohan dan prestasinya. Selain tokoh-tokoh yang sudah disebut tadi, pantaslah disebut nama-nama : Achdiat Karta Miharja, Aoh K. Hadimadja, Dodong Djiwapardaja, Harijadi S. Hartowardojo, Mochtar Lubis, M. Balfas, Mh. Rustandi Kartakusuma, Mohamad Ali, Rusman Sutia Sumarga, Sitor Situmorang, dan Trisno Sumardjo.

B.     Lembaga Kebudayaan Rakyat
Semangat membangun kebudayaan yang tertuang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang ternyata terdesak oleh perubahan yang deras di bidang sosial, budaya, dan politik. Penerapan kedaulatan Republik Indonesia pada akhir tahun 1949 tidak dengan sendirinya menyelesaikan berbagai krisis kehidupan bangsa yang memang sedang bergolak. Pramoedya Ananta Toer menulis artikel di harian Bintang Timur (22 April 1960) berjudul “Dengan Datangnya Lenin Bumi Manusia Lebih Kaya” yang ringkasannya menyatakan bahwa abad ke-20 merupakan abadnya rakyat dan ilmu pengetahuan, dan Lenin serta Einsten merupakan sua tokoh terpenting. Tanpa mereka itu kita akan kedodoran. Peran Uni Sovyet tidak dapat dipisahkan dari revolusi Indonesia 1945 karena besar sekali bantuannya kepada Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pramoedya merasa heran apabila ada kelompok-kelompok yang menentang bantuan negeri Lenin, bahkan tidak suka apabila rakyat Indonesia sendiri bertambah makmur.
Dalam Realisme Sosial dan sastra Indonesia ( Pramoedya, 2003:92-101) terbacalah semangat dan latar belakang pendirian Lekra tahun 1950 kurang lebih sebagai berikut. Lekra didirikan lima tahun setelah pecah revolusi Agustus. Kehadirannya merupakan reaksi terhadap realitas politik kultural yang mencemaskan dan mengusahakan pengucapan kebudayaan, khusunya sastra. Situasi politik pada waktu itu menyulitkan orang untuk bersikap independen atau nonpartisan. Namun, masih banyak pengarang dan cendekiawan yang bertahan independen melalui majalah bulanan Kisah sebagai penertiban sastra yang mengutamakan cerita pendek.

C.    Majalah Kisah
Majalah Kisah menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena merupakan majalah sastra yang pertama kali mengutamakan cerita pendek (cerpen). Majalah itu bertahan hamper lima tahun, mulai Juli 1953 hingga Maret 1957 dan berhasil menjadi rolak ukur kepengarangan seseorang. Semangatnya adalah memberikan bacaan yang baik kepada masyarakat sehingga pengarang pun terdorong untuk menciptakan karangan-karangan yang bermutu dengan penuh tanggung jawab.
Tidak lama kemudian terbit juga majalah Prosa (1955), Seni (1955),Budaya (1953-1962), Konfrontasi (1954-1962), Kompas (1951-1955). Apa pun yang terjadi pada masa itu akan tampak baru apabila dikaji kembali dalam perspektif sejarah, tidak terkecuali masalah Manifes Kebudayaan.
 

D.    Manifes Kebudayaan

Manifes Kebudayaan bukanlah sebuah organisasi kebudayaan, melainkan sebuah konsep  atau pemikiran di bidang kebudayaan seperti Surat Kepercayaan Gelanggang. Kemunculannya tidak terkait dengan partai politik atau ideology tertentu, tetapi merupakan reaksi terhadap terror budya yang pada waktu itu dilancrakan oleh orang-orang Lekra. Dalam waktu singkat Manifes Kebudayaan memperoleh sambutan hangat dan dukungan dari berbagai pihak yang merasa terancam dan terdesak oleh agresivitas kelompok Lekra. Akan tetapi , di sisi lain justru merupakan alas an yang kuat bagi Lekra untuk menghancurkan siapa pun yang berseberangan paham.
Sementara itu, tokoh-tokoh Manifes Kebudayaan menggelar Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KPPI) di Jakarta pada Maret 1964 dan menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Namun, organisasi tersebut belum sempat berkegiatan, karena pada 8 Mei 1964 Manifes Kebudayaan  dilarang oleh Presiden Soekarno. Pelarangan tersebut membuat para pendukung Manifes Kebudayaan berantakan dan tertutuplah hampir segala kegiatannya, bahkan tidak sedikit yang dipecat dari jabatan dinasnya. Pelarangan Manifes Kebudayaan diikuti politis yang makin memojokka orang-orang Manifes Kbudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada di barisan Manifes, terlepas apa pun isi dan kapan penulisannya.
 

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Pada masa pergolakan sastra Indonesia tahun 1945-1965 terdapat beberapa peristiwa yang muncul dalam mewarnai seni sastra di Indonesia. Mulai dari berbagai bidang kehidupan, terutama politik, sosial,dan budaya. Kemudian muncul surat kepercayaan  gelanggang, lembaga kebudayaan  rakyat yang membuat banyak pengarang dan cendekiawan yang bertahan dalam penerbitan sastra yang mengutamakan cerita pendek. Tidak lama kemudian terbit pula majalah -majalah  kisah yang merupakan ajang kreativitas pada pengrang yang terus bermunculan. Juga  manifest kebudayaan yang bukan merupakan organisasi kebudayaan, melainkan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan.


B.  Saran
Sebaiknya dalam  mempelajari sejarah sastra, ktia harus tahu bagaimana sejarah sastra itu lahir. Sehingga kita mudah memahami materi yang diberikan. Selain itu, dalam mempelajari materi ini diperlukan pemahaman yang tinggi agar tidak merasa kesulitan dalam memahaminya.

 
DAFTAR PUSTAKA
Pudawari.2007.Sejarah Sastra.Samarinda.Universitas Mularman
K. S, Yudiono.2010.Pengantar Sejarah Sastra Indonesia.Jakarta:PT Grafindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar